Jumat, 01 Juli 2011

Mereka Yang Tangguh

Jika iseng-iseng menyalakan TV yang kebetulan tengah menayangkan infotainment, hampir bisa dipastikan salah satu dari beritanya adalah tentang perceraian artis. Tak cuma saling tuding dan membuka aib masing-masing, berita-berita itu juga biasanya diwarnai dengan rebutan anak, rebutan harta gono-gini, sampai kekerasan dalam rumah tangga. Perceraian artis menjadi hiburan dan tren baru. Sampai-sampai ada seorang pelawak mengatakan bahwa pernikahan itu ibarat perangkap tikus. Mereka yang di luar tergoda untuk masuk, tapi sebaliknya yang di dalam berusaha keluar.


Meski tayangan-tayangan tadi tak sepenuhnya mencerminkan realitas, tetap saja tak bisa kita pungkiri bahwa perceraian tak semata monopoli kaum selebriti. Perceraian adalah hal yang dekat dengan kita yang bisa kita jumpai di mana pun. Meski perceraian dinilai sebagai kegagalan, bukan berarti hanya kisah orang-orang kalah yang lahir darinya, inilah sedikit kisah tentang mereka yang mampu bangkit, yang berusaha tangguh menghadapi kehidupan yang berat sesudah perceraian.�

Seorang teman kakak saya adalah satu di antara anak-anak korban perceraian yang terus mencoba untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Mbak ini bernama Nana. Terlahir dari keluarga sederhana tak membuatnya berhenti bermimpi menjadi sarjana. Pun ketika orangtuanya terpaksa bercerai ketika ia masih SD, ketika 3 adik-adiknya masih sangat kecil. Sebagai anak tertua, Mbak Nana bekerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan. Mulai dari membuka usaha jahit kecil-kecilan, menjual usus goreng, dan menjadi tenaga sukarelawan di suatu instansi pemerintah di kota saya. Tak sia-sia, gelar sarjana berhasil didapatnya dari Universitas Terbuka.�

Meski begitu, cobaan tak kunjung berakhir. Di usianya yang mulai menginjak kepala tiga, jodoh tak kunjung datang padanya. Adiknya perempuan sudah melangkahinya, menikah lebih dulu tahun ini. Ketika pesta pertunangan kakak saya digelar, Mbak Nana datang, namun jelas ada gelisah di matanya. Saat acara puncak tukar cincin, diam-diam Mbak Nana pulang lewat pintu belakang, dia hanya berkata pelan pada saya, "Aku tak sanggup melihat kakakmu tukar cincin, lebih baik aku pulang saja".�

Saya yakin ia turut bahagia melihat kakak saya akhirnya menemukan pasangan hidupnya, namun sekaligus resah juga melandanya, karena doa-doa yang dia lantunkan tak jua dijawab oleh Allah. Ia memang agak pemilih, tapi saya pikir itu wajar mengingat latar belakang keluarganya, ia harus menemukan pria yang benar-benar tepat agar pengalaman pahit yang dialami orangtuanya tak berulang pada dirinya kelak. Ia seperti menunggu "Prince Charming", Pangeran Tampan Pegawai Negeri Nan Sempurna untuk datang, tapi apa daya selama ini yang datang cuma "Shrek", Si Monster Hijau.�

Suatu kali pernah ada seorang laki-laki yang suka pada Mbak Nana, rupanya Mbak Nana juga suka. Sang lelaki pinjam uang, Mbak Nana dengan senang hati memberikannya, dan Si Mbak kecewa karena sampai sekarang lelaki itu tak pernah melunasi hutangnya. Rupanya Mbak Nana masih harus bersabar untuk urusan yang satu ini. Desember ini Mbak Nana mencoba melamar menjadi pegawai negeri di kabupaten. Pelanggan jahitannya pun sudah lumayan banyak. Saya berdoa semoga Allah berkenan memberinya rejeki sebagai pegawai negeri dan segera mendatangkan "Prince Charming" itu untuknya. Amin.

Seorang sahabat saya, juga besar di keluarga yang broken home. Sejak dia masih kelas 6 SD, Ayah Ibunya memutuskan untuk bercerai. Tiga kakaknya laki-laki sekolah di Jawa, sementara sahabat saya dan ibunya tinggal di salah satu kota di Sumatra. Perceraian itu sempat membuat ibunya terpukul dan malu menyandang status janda (apalagi janda cerai) yang di masyarakat kita masih dipandang sebelah mata. Sempat pula timbul pikiran untuk bunuh diri namun selalu urung jika mengingat anak-anaknya, bahkan kemudian ibunya mulai rajin ikut pengajian. Dari sana timbul keinginan untuk bangkit, terutama untuk memperbaiki perekonomian keluarga yang mulai compang-camping.

Segala usaha mulai dicoba. Berjualan kue kering menjadi pilihan pertama. Malam-malam ibunya sering tak tidur membuat kue-kue, sesudah subuh, sahabat saya dan seorang kakaknya --yang dipanggil kembali ke Sumatra-- dibangunkan. Kue-kue itu harus dibungkus, Nak. Ibu yang sudah mengantuk, ingin sejenak meluruskan punggung yang sudah bekerja semalaman. Kue-kue yang sudah terbungkus rapi itu kini siap untuk dititipkan di kantin sekolah. Betapa pun malu, sahabat saya rela melakukannya. Demi Ibu. Demi asap dapur yang harus terus mengepul. Demi biaya sekolah yang harus terus dibayar. Demi laba 6000 per hari.

Usaha kue kering ternyata bisa sangat melelahkan. Ibunya sampai jatuh sakit karena kecapekan, kebanyakan begadang. Seseorang memberitahu bahwa usaha kelapa sawit menjanjikan keuntungan yang lumayan. Usaha kue kering distop, diganti menjadi usaha kelapa sawit yang lebih menjanjikan. Pekerjaan membungkus kue sekarang berganti. Pulang sekolah kerja bakti dimulai. Tanah hitam, tahi ayam, dan bibit kelapa sawit harus dimasukkan ke polybag untuk kemudian dijual. Ketika usaha ini semakin berkembang, kelabang dan kalajengking yang memang senang hidup di tanah lembab mulai masuk dan berkeliaran di rumah sahabat saya. Sang Ibu lagi-lagi menjadi korban, seekor kelabang menggigitnya dan peristiwa itu membuat panik anak-anaknya.

Ketika kakaknya kedua mulai masuk kuliah, kelapa-kelapa sawit yang masih ada dicuci-gudang. Usaha ini rupanya mulai seret juga. Tabungan hasil dari keuntungan usaha kelapa sawit ini digunakan untuk membuat paviliun. Keuntungan didapat, tetangga pun didapat. Tak cuma di situ, peluang usaha lain pun mulai dilirik. Kali ini wartel dan kos-kosan yang dijadikan pilihan dan usaha ini membuat perekonomian keluarga yang selama ini ambruk, bangkit kembali. Pelan-pelan, satu-persatu kakaknya mulai lulus kuliah, bekerja, dan menikah. Mereka mulai mapan kembali.

Perceraian mungkin bukan jalan keluar yang menyenangkan, tapi toh setiap orang berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Perceraian diakui sahabat saya merupakan peristiwa yang membuatnya terpukul dan bertanya-tanya "Tuhan, kenapa Kau timpakan cobaan seberat ini pada kami?" namun kini setelah masa-masa sulit itu berlalu dan keluarganya mulai mapan, ia menyadari bahwa perceraian kedua orangtuanya telah membuat ibunya menjadi wanita yang tegar dan tangguh menghadapi hidup. Membuatnya mengerti bahwa perceraian kedua orangtuanya memang pahit, tapi itu juga yang mendidik sahabat saya dan kakak-kakaknya menjadi anak-anak yang kuat dan tabah.


Dikutip dari :  Pustaka Abatasa

Tidak ada komentar:

The Power Of Partnership